Realita Hidup
Rumah
ini terasa tak asing lagi untukku. Tembok yang mulai terlihat mengusam,
daun-daun kering yang berserakan, dan rerumputan tumbuh dengan lebat menghiasi
halaman rumah. Jika dilihat dari luar, sudah tampak jelas rumah ini terlihat
kosong seperti tak berpenghuni. Tidak ada sosok seorangpun yang terlihat
melintas didalamnya. Suasananya pun begitu sunyi nan sepi. Aku menghela nafas
panjang lantas melanjutkan langkahku menuju ke depan pintu. Ku buka pintu rumah
itu pelan-pelan. “Krekk...” ku tengok kanan kiri sekitar dapur. Terlihat
ruangan yang seperti kapal pecah. Berbagai peralatan dapur berserakan dilantai,
dan semuanya terlihat sangat kotor. Aku mengusap dadaku sejenak, dan melanjutkan
langkahku menuju kamar. Kutengok sosok seorang
bapak paruh baya tengah tertidur pulas diranjang tua dengan memeluk guling yang
kainnya sudah mulai tampak lusuh. Aku tak berani untuk membangunkannya. Bagiku sudah cukup hanya melihat keadaannya
saja.
Ku
letakkan tas ranselku di ruang tengah. Ruangan ini masih tetap sama. Hanya ada
dua pasang kursi tua dengan tv berukuran 21 inci di depannya. Empat tahun yang
lalu, ini adalah tempat kenanganku bersama mereka. Tempat dimana kami saling
berkumpul dan bercanda satu sama lain. Meskipun hanya tiga orang, namun suasana
saat itu benar-benar hangat. Aku memang sangat rindu saat-saat indah itu. Senyuman
seorang ayah dan ibu yang begitu manis, disertai dengan canda tawa mereka yang
selalu mendamaikan jiwaku. “huhflt.. tak
seharusnya aku mengingat sesuatu yang hilang itu” segera ku hilangkan
pikiran tentang masalaluku. Lantas akupun duduk bersandar di kursi seraya
melepas penatku. Dan seperti biasanya aku langsung bermain laptop.
Suasana
rumah sangat sepi. Hanya ada aku dan ayah, itupun ayah belum bangun. Jadi aku
hanya mencari hiburan dengan bermain laptop. Biasanya kalau lagi galau aku
membuat suatu cerpen atau puisi yang mengisahkan tentang kehidupan. Itu bisa
sedikit mengobati rasa galauku untuk sesaat.
Tak
lama kemudian terdengar suara ketukan kaki seseorang. Diseberang tampak seorang
nenek tua tengah berjalan kearahku. Dari kejauhan dia kelihatan tersenyum
dengan ramah. Aku pun mendekatinya.
“
Sampai rumah jam berapa?” Tanyanya seraya mencium pipiku.
“
Jam satu nek. Tadi dijemput sama Mas Yanto”
“
Ibumu nggak ikut pulang??”
“
Katanya ibu pulang setelah lebaran nek”
“
Oh. Hmmm Ya seperti inilah keadaan rumah setelah kamu tinggal. Aku juga belum
sempat untuk membersihkannya, nenek nggak kuat kalau harus naik turun dari
rumah kesini”
“
Nggak papa kok nek, memang keadaannya sudah seperti ini. mau gimana lagi??” aku
tersenyum kearahnya.
“
Ya beginilah. Ayahmu di rumah kerjaannya hanya seperti itu. Sudah tak
memperdulikan apa pun. Aku juga nggak paham dengan jalan pikirannya. Padahal
sudah begitu lamanya dia seperti itu..”
Aku mengangkat bahu seraya menatap
mata nenek. Beliaulah sosok orangtua ku dari kecil. Semenjak ibuku kerja ke
kota, beliau yang mengurus semuanya. Aku bengitu sangat menghormatinya. Dia
sudah aku anggap seperti ibuku sendiri. Kalau bukan karena dukungan darinya,
aku tidak mungkin mempunyai semangat dalam menjalani hidup.
“
Kalau nggak ada nasi, makan di rumah nenek saja. Ayahmu masak?”
“
Nggak ada nasi nek, tadi aku lihat sebentar nasinya udah basi. Selama aku
tinggal, ayah makan apa?”
“
Ya terkadang dia makan di rumah nenek, kalau nggak gitu ya bulekmu yang nganter
makanan ke sini. Seperti yang kamu tahu, dia kadang sulit untuk disuruh makan.”
“
Hmmmm..” Aku menghela nafas. Kata-kata seperti itu sudah menjadi hal yang tidak
tabu lagi untukku. Bahkan yang lebih parah dari itu semua masih banyak lagi.
“
Ya sudah. Nenek mau ke warungnya budhe kamu dulu. Nanti kamu makan aja ke rumah
kalau belum makan.”
“
Iya nek.”
Tak lama setelah nenek pergi,
terdengar suara rintihan ayah beranjak dari tempat tidurnya. Dia berjalan
kearah kamar mandi tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Ku tengok dia dari
kejauhan. Tubuhnya tak lagi sekuat dulu. Semuanya pun terlihat berbeda.
Kulitnya terlihat kering dan berwarna gelap. Rambutnya panjang dan tak
beraturan. Terlebih lagi bajunya terlihat kusut karena tidak pernah disetrika.
Bagaikan mendung yang menahan air hujan, kini aku benar-benar tak kuasa menahan
air mataku saat melihat kondisinya. Semuanya terlihat benar-benar miris. Dulu
dia adalah orang yang sangat aku hormati. Dia orang yang paling tidak suka sama
sesuatu yang kotor, rajin salat, bahkan mampu bersih-bersih rumah sendiri. Tapi
sekarang? Semuanya berputar 360 derajat dari keadaan awal. Aku tak pernah
menduga semuanya bakal jadi seperti ini. Segera kuusap air mataku yang terjatuh
disela-sela pipi. Aku tak ingin terus larut dalam kesedihan. Lantas akupun melanjutkan kegiatan menulisku.
Diapun
begitu indah,
Tiada
sosok yang mampu menandingi
Aku
begitu menyayanginya
Namun
aku tak pernah tahu
Apakah
dia menyayangiku?
Apakah
dia memperhatikanku?
Apakah
dia peduli denganku?
Tanda
tanya selalu terbesit dalam benakku
Tapi
aku tak pernah punya keberanian untuk menanyakan hal itu
Aku
tahu dia pernah menyayangiku
Meskipun
kini tak seperti yang dulu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar