Kamis, 27 Februari 2014

Cerpen Realita kehidupan


Realita Hidup
Rumah ini terasa tak asing lagi untukku. Tembok yang mulai terlihat mengusam, daun-daun kering yang berserakan, dan rerumputan tumbuh dengan lebat menghiasi halaman rumah. Jika dilihat dari luar, sudah tampak jelas rumah ini terlihat kosong seperti tak berpenghuni. Tidak ada sosok seorangpun yang terlihat melintas didalamnya. Suasananya pun begitu sunyi nan sepi. Aku menghela nafas panjang lantas melanjutkan langkahku menuju ke depan pintu. Ku buka pintu rumah itu pelan-pelan. “Krekk...” ku tengok kanan kiri sekitar dapur. Terlihat ruangan yang seperti kapal pecah. Berbagai peralatan dapur berserakan dilantai, dan semuanya terlihat sangat kotor. Aku mengusap dadaku sejenak, dan melanjutkan langkahku menuju kamar. Kutengok  sosok seorang bapak paruh baya tengah tertidur pulas diranjang tua dengan memeluk guling yang kainnya sudah mulai tampak lusuh. Aku tak berani untuk membangunkannya.  Bagiku sudah cukup hanya melihat keadaannya saja.
Ku letakkan tas ranselku di ruang tengah. Ruangan ini masih tetap sama. Hanya ada dua pasang kursi tua dengan tv berukuran 21 inci di depannya. Empat tahun yang lalu, ini adalah tempat kenanganku bersama mereka. Tempat dimana kami saling berkumpul dan bercanda satu sama lain. Meskipun hanya tiga orang, namun suasana saat itu benar-benar hangat. Aku memang sangat rindu saat-saat indah itu. Senyuman seorang ayah dan ibu yang begitu manis, disertai dengan canda tawa mereka yang selalu mendamaikan jiwaku. “huhflt.. tak seharusnya aku mengingat sesuatu yang hilang itu” segera ku hilangkan pikiran tentang masalaluku. Lantas akupun duduk bersandar di kursi seraya melepas penatku. Dan seperti biasanya aku langsung bermain laptop.
Suasana rumah sangat sepi. Hanya ada aku dan ayah, itupun ayah belum bangun. Jadi aku hanya mencari hiburan dengan bermain laptop. Biasanya kalau lagi galau aku membuat suatu cerpen atau puisi yang mengisahkan tentang kehidupan. Itu bisa sedikit mengobati rasa galauku untuk sesaat.
Tak lama kemudian terdengar suara ketukan kaki seseorang. Diseberang tampak seorang nenek tua tengah berjalan kearahku. Dari kejauhan dia kelihatan tersenyum dengan ramah. Aku pun mendekatinya.
“ Sampai rumah jam berapa?” Tanyanya seraya mencium pipiku.
“ Jam satu nek. Tadi dijemput sama Mas Yanto”
“ Ibumu nggak ikut pulang??”
“ Katanya ibu pulang setelah lebaran nek”
“ Oh. Hmmm Ya seperti inilah keadaan rumah setelah kamu tinggal. Aku juga belum sempat untuk membersihkannya, nenek nggak kuat kalau harus naik turun dari rumah kesini”
“ Nggak papa kok nek, memang keadaannya sudah seperti ini. mau gimana lagi??” aku tersenyum kearahnya.
“ Ya beginilah. Ayahmu di rumah kerjaannya hanya seperti itu. Sudah tak memperdulikan apa pun. Aku juga nggak paham dengan jalan pikirannya. Padahal sudah begitu lamanya dia seperti itu..”
            Aku mengangkat bahu seraya menatap mata nenek. Beliaulah sosok orangtua ku dari kecil. Semenjak ibuku kerja ke kota, beliau yang mengurus semuanya. Aku bengitu sangat menghormatinya. Dia sudah aku anggap seperti ibuku sendiri. Kalau bukan karena dukungan darinya, aku tidak mungkin mempunyai semangat dalam menjalani hidup.
“ Kalau nggak ada nasi, makan di rumah nenek saja. Ayahmu masak?”
“ Nggak ada nasi nek, tadi aku lihat sebentar nasinya udah basi. Selama aku tinggal, ayah makan apa?”
“ Ya terkadang dia makan di rumah nenek, kalau nggak gitu ya bulekmu yang nganter makanan ke sini. Seperti yang kamu tahu, dia kadang sulit untuk disuruh makan.”
“ Hmmmm..” Aku menghela nafas. Kata-kata seperti itu sudah menjadi hal yang tidak tabu lagi untukku. Bahkan yang lebih parah dari itu semua masih banyak lagi.
“ Ya sudah. Nenek mau ke warungnya budhe kamu dulu. Nanti kamu makan aja ke rumah kalau belum makan.”
“ Iya nek.”
Tak lama setelah nenek pergi, terdengar suara rintihan ayah beranjak dari tempat tidurnya. Dia berjalan kearah kamar mandi tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Ku tengok dia dari kejauhan. Tubuhnya tak lagi sekuat dulu. Semuanya pun terlihat berbeda. Kulitnya terlihat kering dan berwarna gelap. Rambutnya panjang dan tak beraturan. Terlebih lagi bajunya terlihat kusut karena tidak pernah disetrika. Bagaikan mendung yang menahan air hujan, kini aku benar-benar tak kuasa menahan air mataku saat melihat kondisinya. Semuanya terlihat benar-benar miris. Dulu dia adalah orang yang sangat aku hormati. Dia orang yang paling tidak suka sama sesuatu yang kotor, rajin salat, bahkan mampu bersih-bersih rumah sendiri. Tapi sekarang? Semuanya berputar 360 derajat dari keadaan awal. Aku tak pernah menduga semuanya bakal jadi seperti ini. Segera kuusap air mataku yang terjatuh disela-sela pipi. Aku tak ingin terus larut dalam kesedihan.  Lantas akupun melanjutkan kegiatan menulisku.
Diapun begitu indah,
Tiada sosok yang mampu menandingi
Aku begitu menyayanginya
Namun aku tak pernah tahu
Apakah dia menyayangiku?
Apakah dia memperhatikanku?
Apakah dia peduli denganku?
Tanda tanya selalu terbesit dalam benakku
Tapi aku tak pernah punya keberanian untuk menanyakan hal itu
Aku tahu dia pernah menyayangiku
Meskipun kini tak seperti yang dulu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar