Sembari bertanya pada angin yang
jelas tak pernah menyimpan jawabnya, aku masih saja terus menyusuri lorong yang
berliku ini. Entah sekarang atau nanti, aku hanya berharap, setitik bayang-Mu
menemaniku melangkahkan kaki yang sepertinya sudah mulai lelah. Keinginan
terpecah, impian memadam. Semua berputar seiring dengan angka 24 lagi. Kumpulan
cacing dan gagak-gagak bacin jelas begitu mengganggu perjalananku. Tidakkah
kalian pernah merasakan hidup seperti ini? sebuah kehidupan yang selalu saja
kalian hindari. Terpojok, sendiri, dan tidak ada seorangpun yang mampu
mendengar tangisan sedihmu. Bukankah kalian lebih memilih sebaliknya? Tapi
tidak denganku. Aku justru senang hidup diantara ribuan cacing yang bisanya
hanya memakan seonggok daging bisu dan kelelawar-kelelawar yang bercinta dengan
kegelapan. Aku lebih memilih menjadi pemungut barang bekas, namun mendaur ulang
kembali menjadi sesuatu yang bernilai, daripada sebagai konsumen yang hanya
mampu membeli dan membuang sesuatu menjadi samapah. Semuanya tergambar jelas
dalam keganjilan sepertiga dari malamku. Dari sini aku belajar bagaimana
menghargai dan dihargai, memiliki dan dimiliki. Begitu pula sebaliknya. Aku
belajar bagaimana rasanya terjatuh dalam jurang yang terjal. Bahkan hanya ada
aku sendiri di sana. Tanpa-Mu, tanpa kalian, dan tanpa mereka. Sendiri!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar