Jumat, 28 November 2014

Di muara jalan itu



Di muara jalan itu
Di lembah sungai impian
Tawamu kering, kemarau merangkai
Wajahmu yang sayu oleh harapan
Temaram dalam perjalanan panjang yang tak pernah berujung
Meniti harimu melewati fanaku
Lantas terbaring, terhempas rasa sesak yang kian memanjang

Aku rindu kecupan waktumu kembali
Di muara jalan itu masih saja sapamu mengejarku
Mengerjar debarku yang sendu
Untuk mengenangmu
Untuk membisu
Dan untuk kembali menyapa hatimu


Scream (?!)



Dihari yang panjang nan melelahkan, aku melangkah  bersama  hati yang dipenuhi rasa putus. Entah hari ini atau esok, aku hanya akan bangun lagi dan melalui hari yang silih berganti. Harapan samar-samar, tawa kering. Semuanya berubah seiring berjalannya waktu. Awan gelap dan tumpukan duri jelas, tak akan pernah ada hilangnya. Pernahkah sekali saja kau mendengarkan tangisan sedih kita? Kita pernah memperjuangkannya dan  bertahan melaluinya tanpa henti. Bahkan ketika kita berada dalam kegelapan sembari berjalan pada lorong yang jauh itu, kita selalu bersama dan berpegangan tangan. Di ruang yang gelap, sinar tunggal cahaya datang menepis celah hati kita. Dan aku hanya terus berharap semoga ini akan segera bersinar terang. Mungkin jika aku hanya berdoa dan terus berdoa, itu akan terpenuhi. Karena aku percaya dan menunggu sampai semuanya terlihat jelas. Mengapa tak pernah ada jawabmu? Mengapa kau terus menyembunyikannya tanpa kata? Bisakah sedikit saja kau mengatakan iya atau tidak? Mungkin memang benar apa kata mereka. Memang sampai batas akhir pun aku hanya akan bangun lagi dan melalui hari yang silih berganti. Sebatas menunggu kepastian tanpa sebuah jawaban. Seperti itu dan seterusnya.