Kamis, 09 Juni 2016

Melihat Tuhan




Senja sudah tenggelam. Setiap penjuru masjid mulai terdengar bising dengan suara adzan. Di ufuk barat sana, siluet pepohonan mulai tergambar gelap. Semburat petang sedikit berwarna orange kejinggaan, dibiaskan dari langit ke perut bumi. Hari baru saja berlari dari terang menuju petang.
Seperti biasa lelaki paruh baya itu segera mengambil air wudhu dan menunaikan ibadah salat maghrib. Dengan masih mengenakan kain lusuh yang baru saja dipakai dari ladang, sedikit demi sedikit ia mulai mengambil air. Dibasuhkan dari pergelangan tangan hingga ke mata kaki. Bilik yang dipakainya kecil, bahkan airnya juga hanya seperempat lubang. Konon, katanya Bilik tersebut ia sendiri yang membuat. Sekarang bilik itu terlihat tua dan tidak terawat. Banyak daun kering yang berjatuhan dan memenuhi sekelilingnya. Dibiarkan menggeletak begitu saja, lembab dan tidak pernah disapu.
Usai berwudhu, tergopoh lelaki itu memasuki rumah mungil dengan ukuran 12x10 M . Tanpa menunggu lama lagi, ia segera melakukan salat maghrib. Rumah tersebut hanya terdiri atas lima ruangan kecil. Di ruang tamu terdapat sepasang kursi tua dan sebuah almari yang menggambarkan ukiran zaman dahulu. Di sebelah kanan ruang tamu, terdapat dua ruang kamar yang berdekatan dengan ruang televisi. Dindingnya sudah banyak yang retak lantaran sudah tua. Lantai yang terbuat dari keramik itu terlihat banyak bekas telapak kaki, kotor, dan terlihat tidak pernah dibersihkan. Rumah itu terlihat sepi, tanpa penghuni. Kecuali ia sendiri.
Keluarganya? Menurut bisik-bisik tetangga yang kudengar, istri dan anak lelaki paruh baya itu tinggal di Surabaya. Istrinya bekerja sebagai pembantu rumah tangga demi memenuhi kebutuhan hidup mereka, sedang anaknya melanjutkan sekolah di PTN karena mendapat beasiswa. Jadi wajar jika rumah itu selalu terlihat lengang dan sunyi. Tetangga pun jarang mendatangi rumah itu. Hanya sesekali saja saat ada keperluan.
Dalam posisi lutut yang sejajar dengan otak tersebut, terdengar desis lantunan ayat-ayat suci. Ia terlihat begitu khusyuk, mata terpejam dengan mulut bergerak pelan. Tenang dan hening. Sejauh apapun matanya memandang, ia tak mampu menemukan mana ujung mana pangkal. Hatinya menggambarkan tengah bersidekap dengan Yang Menciptakan.
Namun dibalik sikap religiusnya tersebut, ada hal yang bisa dikatakan aneh. Hingga saat ini tak seorang pun mau berbicara dengannya perihal agama. Bahkan saudara-saudaranya selalu berusaha mengalihkan pembicaraan setiap kali ia mulai membicarakan tentang agama. Bukan karena apa-apa, hanya saja orang sekitar menganggap lelaki itu tidak waras.
Pernah suatu ketika tetangga satu bertanya kepadanya saat berpapasan di jalan.
“Mau kemana Pak Mali?”
“Oh, mau bertemu Tuhan Bu, di sana. “ ia menunjuk gubuk tua yang terletak di sebelah kanan ladangnya.
Tetangga itu hanya membalas dengan senyuman. Lantas berlalu begitu saja, tanpa sepatah kata. Di hari lain lagi, tetangga dua pernah bermain ke rumah dengan niat silaturahmi. Di tengah percakapan tentang pembangunan masjid, lelaki itu justru mengalihkan pembicaraan tentang pertemuannya dengan Tuhan.
“Aku bertemu dengan-Nya di dekat pohon mangga depan rumah itu. Tidak begitu tampak memang. Tapi aku yakin kalau itu benar-benar Dia.aku melihatnya secara langsung.” Kata yang keluar dari mulutnya pada saat itu.
Semenjak itu, para tetangga mengira bahwa Pak Mali depresi karena ditinggal istri dan anaknya. Banyak tetangga yang mulai menjaga jarak dengannya. Berbicara dan datang ke rumah hanya seperlunya saja. Bukannya tidak peduli dengan tetangga, mereka hanya tidak ingin memancing Pak Mali dengan pembicaraan yang tidak berguna.
Berbeda denganku, entah mengapa Aku selalu memiliki rasa penasaran dengan lelaki tersebut. Pembicaraannya tentang Tuhan membuat Aku dihantui berbagai tanda tanya. Mengapa dia bisa berbicara seperti itu? Mungkinkah perkataannya yang disepelakan orang selama ini benar-benar hanya omong kosong belaka? Apakah tidak ada alasan yang melatarbelakangi hingga ia berbicara seperti itu? Aku selalu ingin tahu jawaban dari berbagai pertanyaan itu.
Memang selama ini Aku diam-diam mengawasinya dari jauh. Memerhatikan segala sesuatu yang ia lakukan setiap harinya. Mulai dari bangun tidur, salat subuh, memberi makan ayam, memasak, bekerja di ladang, dan seterusnya. Bukannya Aku tidak berani mendekat, hanya saja kedua orang tuaku melarang untuk dekat dengannya. Karenanya, malam itu Aku beranikan diri untuk berkunjung ke rumahnya. Aku pamit kepada Ibu dengan alasan mengerjakan tugas kelompok di rumah teman sekelas. Aku sudah tidak tahan dengan rasa penasaran yang selama ini memenuhi pikiranku.
Perlahan kuketuk pintu rumahnya. Lama tak ada jawaban. Aku masih menunggu di depan pintu rumahnya, sambil sesekali mengetuk pintu. Selang lima belas menit kemudian, pintu rumah itu terbuka. Pak Mali sudah  berdiri dengan senyuman lebar, menyuruhku masuk. Tanpa pikir panjang lagi, Aku masuk ke rumahnya.
“Duduk Nak, maaf kursinya kotor.” Katanya kepadaku.
“Ah, tidak apa-apa Pak.” Aku diam sesaat, ragu ingin memulai pembicaraan.
“Mau Bapak buatkan Teh? Atau kopi?”
“Oh, tidak perlu repot-repot Pak. Saya ke sini hanya ingin main saja.”
“Oh, begitu. Bagaimana keadaan orang tuamu? Sehat?”
“Alhamdulilah baik Pak.” Aku mengangguk sambil tersenyum.
Suasana menjadi hening untuk sesaat. Kulihat lelaki itu membalas senyumku dengan tatapan aneh. Ada sesuatu yang tersirat dalam tatapannya. Pikiranku menjadi sedikit gusar, alih-laih dia memiliki niat buruk kepadaku.
“Bapak tahu niatmu datang ke sini” Aku terkaget mendengarnya. Bagaimana ia bisa tahu?
“Tidak usah terkejut. Aku tahu selama ini kamu diam-diam memerhatikan Bapak. Kenapa nak? Kamu juga berpikir sama dengan mereka? Ingin bilang kalau Bapak ini gila? Lantas kau datang ke sini untuk memastikan?” lelaki itu meninggikan nada bicaranya dengan mata membelalak ke arahku.
“Buk, buk, bukan begitu Pak... “ Aku mulai ketakutan. Bingung harus bersikap bagaimana.
“Hahahah! Manusia memang begitu. Seringkali melihat seseorang berdasarkan pemikiran mereka sendiri. kamu tahu kenapa Bapak seperti itu?”
“Ti, ti, tidak Pak..”
“ Ya karena Bapak memang melihat-Nya. Kamu pernah Melihat Tuhan?”
“Belum Pak, Saya belum pernah melihat Tuhan.”
“Sudah kuduga. Mereka juga belum melihatnya bukan? Bagaimana dengan salatmu? Khusyuk? Apa yang kau lihat saat salat? Hanya menunduk dan melihat gambar ka’bah yang ada di sajadah itu? Hahahaha!” Lelaki itu mengeraskan suaranya. Aku terdiam, tidak mampu menjawab pertanyaannya.
“Kau mengucapkan syahadat ketika kali pertama masuk Islam. Bukankah kau sudah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah? Kau bersaksi bukan? Seharusnya kau mampu menelaah kata itu dalam-dalam. Ingat Nak, BERSAKSI! MENYAKSIKAN!” lelaki itu menekankan pembicaraannya.
Sontak Aku dibuat melongo dengan perkataan terakhirnya. Dari pernyataan itu Aku mulai paham, bahwa dia bukan orang biasa. Aku bahkan ingin menjadi orang sepertinya. Malam itu juga aku keluar dari rumahnya dengan pikiran banyak hal yang ingin kulakukan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar