Senja sudah
tenggelam. Setiap penjuru masjid mulai terdengar bising dengan suara adzan. Di
ufuk barat sana, siluet pepohonan mulai tergambar gelap. Semburat petang sedikit
berwarna orange kejinggaan, dibiaskan dari langit ke perut bumi. Hari baru saja
berlari dari terang menuju petang.
Seperti
biasa lelaki paruh baya itu segera mengambil air wudhu dan menunaikan ibadah
salat maghrib. Dengan masih mengenakan kain lusuh yang baru saja dipakai dari
ladang, sedikit demi sedikit ia mulai mengambil air. Dibasuhkan dari
pergelangan tangan hingga ke mata kaki. Bilik yang dipakainya kecil, bahkan
airnya juga hanya seperempat lubang. Konon, katanya Bilik tersebut ia sendiri
yang membuat. Sekarang bilik itu terlihat tua dan tidak terawat. Banyak daun
kering yang berjatuhan dan memenuhi sekelilingnya. Dibiarkan menggeletak begitu
saja, lembab dan tidak pernah disapu.
Usai
berwudhu, tergopoh lelaki itu memasuki rumah mungil dengan ukuran 12x10 M . Tanpa
menunggu lama lagi, ia segera melakukan salat maghrib. Rumah tersebut hanya
terdiri atas lima ruangan kecil. Di ruang tamu terdapat sepasang kursi tua dan
sebuah almari yang menggambarkan ukiran zaman dahulu. Di sebelah kanan ruang
tamu, terdapat dua ruang kamar yang berdekatan dengan ruang televisi.
Dindingnya sudah banyak yang retak lantaran sudah tua. Lantai yang terbuat dari
keramik itu terlihat banyak bekas telapak kaki, kotor, dan terlihat tidak
pernah dibersihkan. Rumah itu terlihat sepi, tanpa penghuni. Kecuali ia sendiri.
Keluarganya?
Menurut bisik-bisik tetangga yang kudengar, istri dan anak lelaki paruh baya
itu tinggal di Surabaya. Istrinya bekerja sebagai pembantu rumah tangga demi
memenuhi kebutuhan hidup mereka, sedang anaknya melanjutkan sekolah di PTN
karena mendapat beasiswa. Jadi wajar jika rumah itu selalu terlihat lengang dan
sunyi. Tetangga pun jarang mendatangi rumah itu. Hanya sesekali saja saat ada
keperluan.
Dalam posisi
lutut yang sejajar dengan otak tersebut, terdengar desis lantunan ayat-ayat
suci. Ia terlihat begitu khusyuk, mata terpejam dengan mulut bergerak pelan. Tenang
dan hening. Sejauh apapun matanya memandang, ia tak mampu menemukan mana ujung
mana pangkal. Hatinya menggambarkan tengah bersidekap dengan Yang Menciptakan.
Namun
dibalik sikap religiusnya tersebut, ada hal yang bisa dikatakan aneh. Hingga
saat ini tak seorang pun mau berbicara dengannya perihal agama. Bahkan
saudara-saudaranya selalu berusaha mengalihkan pembicaraan setiap kali ia mulai
membicarakan tentang agama. Bukan karena apa-apa, hanya saja orang sekitar
menganggap lelaki itu tidak waras.
Pernah suatu
ketika tetangga satu bertanya kepadanya saat berpapasan di jalan.
“Mau kemana
Pak Mali?”
“Oh, mau
bertemu Tuhan Bu, di sana. “ ia menunjuk gubuk tua yang terletak di sebelah
kanan ladangnya.
Tetangga itu
hanya membalas dengan senyuman. Lantas berlalu begitu saja, tanpa sepatah kata.
Di hari lain lagi, tetangga dua pernah bermain ke rumah dengan niat
silaturahmi. Di tengah percakapan tentang pembangunan masjid, lelaki itu justru
mengalihkan pembicaraan tentang pertemuannya dengan Tuhan.
“Aku bertemu
dengan-Nya di dekat pohon mangga depan rumah itu. Tidak begitu tampak memang.
Tapi aku yakin kalau itu benar-benar Dia.aku melihatnya secara langsung.” Kata
yang keluar dari mulutnya pada saat itu.
Semenjak
itu, para tetangga mengira bahwa Pak Mali depresi karena ditinggal istri dan
anaknya. Banyak tetangga yang mulai menjaga jarak dengannya. Berbicara dan
datang ke rumah hanya seperlunya saja. Bukannya tidak peduli dengan tetangga,
mereka hanya tidak ingin memancing Pak Mali dengan pembicaraan yang tidak
berguna.
Berbeda denganku,
entah mengapa Aku selalu memiliki rasa penasaran dengan lelaki tersebut.
Pembicaraannya tentang Tuhan membuat Aku dihantui berbagai tanda tanya. Mengapa
dia bisa berbicara seperti itu? Mungkinkah perkataannya yang disepelakan orang
selama ini benar-benar hanya omong kosong belaka? Apakah tidak ada alasan yang
melatarbelakangi hingga ia berbicara seperti itu? Aku selalu ingin tahu jawaban
dari berbagai pertanyaan itu.
Memang
selama ini Aku diam-diam mengawasinya dari jauh. Memerhatikan segala sesuatu
yang ia lakukan setiap harinya. Mulai dari bangun tidur, salat subuh, memberi
makan ayam, memasak, bekerja di ladang, dan seterusnya. Bukannya Aku tidak
berani mendekat, hanya saja kedua orang tuaku melarang untuk dekat dengannya.
Karenanya, malam itu Aku beranikan diri untuk berkunjung ke rumahnya. Aku pamit
kepada Ibu dengan alasan mengerjakan tugas kelompok di rumah teman sekelas. Aku
sudah tidak tahan dengan rasa penasaran yang selama ini memenuhi pikiranku.
Perlahan
kuketuk pintu rumahnya. Lama tak ada jawaban. Aku masih menunggu di depan pintu
rumahnya, sambil sesekali mengetuk pintu. Selang lima belas menit kemudian,
pintu rumah itu terbuka. Pak Mali sudah
berdiri dengan senyuman lebar, menyuruhku masuk. Tanpa pikir panjang
lagi, Aku masuk ke rumahnya.
“Duduk Nak,
maaf kursinya kotor.” Katanya kepadaku.
“Ah, tidak
apa-apa Pak.” Aku diam sesaat, ragu ingin memulai pembicaraan.
“Mau Bapak
buatkan Teh? Atau kopi?”
“Oh, tidak
perlu repot-repot Pak. Saya ke sini hanya ingin main saja.”
“Oh, begitu.
Bagaimana keadaan orang tuamu? Sehat?”
“Alhamdulilah
baik Pak.” Aku mengangguk sambil tersenyum.
Suasana
menjadi hening untuk sesaat. Kulihat lelaki itu membalas senyumku dengan
tatapan aneh. Ada sesuatu yang tersirat dalam tatapannya. Pikiranku menjadi
sedikit gusar, alih-laih dia memiliki niat buruk kepadaku.
“Bapak tahu
niatmu datang ke sini” Aku terkaget mendengarnya. Bagaimana ia bisa tahu?
“Tidak usah
terkejut. Aku tahu selama ini kamu diam-diam memerhatikan Bapak. Kenapa nak?
Kamu juga berpikir sama dengan mereka? Ingin bilang kalau Bapak ini gila?
Lantas kau datang ke sini untuk memastikan?” lelaki itu meninggikan nada
bicaranya dengan mata membelalak ke arahku.
“Buk, buk,
bukan begitu Pak... “ Aku mulai ketakutan. Bingung harus bersikap bagaimana.
“Hahahah!
Manusia memang begitu. Seringkali melihat seseorang berdasarkan pemikiran
mereka sendiri. kamu tahu kenapa Bapak seperti itu?”
“Ti, ti,
tidak Pak..”
“ Ya karena
Bapak memang melihat-Nya. Kamu pernah Melihat Tuhan?”
“Belum Pak,
Saya belum pernah melihat Tuhan.”
“Sudah
kuduga. Mereka juga belum melihatnya bukan? Bagaimana dengan salatmu? Khusyuk?
Apa yang kau lihat saat salat? Hanya menunduk dan melihat gambar ka’bah yang
ada di sajadah itu? Hahahaha!” Lelaki itu mengeraskan suaranya. Aku terdiam,
tidak mampu menjawab pertanyaannya.
“Kau
mengucapkan syahadat ketika kali pertama masuk Islam. Bukankah kau sudah
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah? Kau bersaksi bukan? Seharusnya kau
mampu menelaah kata itu dalam-dalam. Ingat Nak, BERSAKSI! MENYAKSIKAN!” lelaki
itu menekankan pembicaraannya.
Sontak Aku
dibuat melongo dengan perkataan terakhirnya. Dari pernyataan itu Aku mulai
paham, bahwa dia bukan orang biasa. Aku bahkan ingin menjadi orang sepertinya.
Malam itu juga aku keluar dari rumahnya dengan pikiran banyak hal yang ingin
kulakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar