Kamis, 09 Juni 2016

TEORI SUFISME IBNU ARABI: GAMBARAN UMUM, KONSEP-KONSEP, IMPLIKASI METODOLOGIS, DAN CONTOH ANALISIS

TEORI SUFISME IBNU ARABI: GAMBARAN UMUM, KONSEP-KONSEP, IMPLIKASI METODOLOGIS, DAN CONTOH ANALISIS
Dewi Alifasari/132074055/PB13
A.    Gambaran umum
Secara umum tasawuf dapat dikatakan sebagai paham di kalangan pemeluk Islam yang berusaha membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela dalam rangka mendekati Allah (Sudardi, 2003:13). Ajaran ini pada mulanya dimaksudkan sebagai ilmu tarbiyah akhlak ruhani, yaitu mengamalkan perilaku yang baik dan meninggalkan perilaku tercela, namun seiring perkembangannya tasawuf kemudian dikenal sebagai ilmu untuk membersihkan jiwa dan menghaluskan budi pekerti.
Inti dari ajaran tasawuf adalah pencapaian kesempurnaan serta kesucian jiwa (Syukur, 1999:165). Kesucian jiwa yang dimaksud adalah hasil perjuangan yang tiada henti, sebagai cara perilaku perorangan yang terbaik dalam mengontrol diri pribadi, setia dan senantiasa merasa di hadapan Allah SWT. Ajaran ini lebih sering disebut sebagai gerakan batin (kerohanian), karena lebih menekankan pada ibadah yang berdasarkan rasa cinta kepada Tuhan daripada ibadah yang semata-mata hanya memenuhi hukum fiqih.

1.    Sejarah Perkembangan Tasawuf
Menurut Sudardi (2003:15) sejarah perkembangan tasawuf melewati fase-fase yang panjang dan bermula sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Di dalam fase-fase tersebut terjadi perubahan-perubahan yang mendasar mengenai keyakinan dan amalan yang terkandung di dalamnya.
Kata tasawuf itu sendiri sudah mulai muncul sejak abad kedua tahun hijriyah. Tokoh pertama yang mendapat gelar sufi adalah Abu Hasyim dari Kufah yang menjalani kehidupan rohani dengan cara hidup sederhana dan meninggalkan kemewahan duniawi. Abad ini disebut dengan fase zuhud, karena pembicaraan tentang sufi masih terbatas pada pembicaraan mengenai praktik kehidupan yang zuhud, belum sampai pada pertanyaan tentang hubungan hakikat mereka dengan Tuhan.  
Pada abad ketiga hijriyah mulailah muncul ajaran yang membicarakan hubungan manusia dengan Tuhan. Beberapa teori mengenai hakikat alam dan Tuhan mulai bermunculan, sehingga terjadi pertentangan antara kaum sufi dengan para pemegang hukum fiqih. Pada abad ini muncul berita bahwa para sufi mengucapkan kata-kata yang dianggap melanggar hukum syariat karena rasa mabuknya kepada Tuhan. Kata-kata tersebut di antaranya adalah kata Al-Hallaj yang mengaku sebagai Tuhan. Sebagian ulama menafsirkan bahwa kata-kata Al-Hallaj tersebut diucapkan dalam keadaan “merasa” bersama Tuhan, sehingga kesadaran dirinya adalah kesadaran Tuhan. Oleh karena itu ia masih dapat diterima di dalam hukum syariat.
Al-Hallaj adalah peletak dasar ajaran Wahdatul Wujud yang kemudian berkembang di kalangan para sufi. Pengaruhnya sampai ke Indonesia dan menjadi klimaks pertentangan antara kaum sufi dengan kaum fiqih dalam dunia Islam. Menurutnya, jika batin seseorang telah suci bersih di dlam menempuh perjalanan hidup kebatinan, orang tersebut akan setingkat demi setingkat naik ke derajat yang lebih mulia. Pada derajat tertinggi, manusia bersatu dengan Tuhan, sehingga tidak lagi disadari perbedaan hamba dengan Tuhan.
Pada abad kelima Hijryah, muncul tokoh pendamai pertentangan antara kaum sufi dengan kaum fiqih, yaitu Abu Hamid Al-Gazhali. Dalam hal konsep ketuhanan, ia berusaha meluruskan ajaran Al-Hallaj mengenai adanya kesatuan wujud antara Tuhan dengan alam. Ghazali berpandangan bahwa wujud Tuhan meliputi segala wujud. Menurutnya, yang wujud hanyalah Allah dan perbuatan Allah. Hal itu berbeda dengan pandangan Al-Hallaj yang menyatakan bahwa ciptaan Allah dan wujud Allah bersatu. Menurut Hamka (1984:139) Ghazali berpendirian bahwa ciptaan Allah sebagai hasil dari perbuatan Allah terpisah dari Allah. Alam seluruhnya dan makhlik ciptaan-Nya adalah sebagai bukti kekuasaan Allah.
Apa yang telah diusahakan Ghazali kemudian menjadi buyar dengan munculnya tokoh Ibnu Arabi yang mengembangkan ajaran wahdatul wujud milik Hallaj pada abad sebelumnya. Ajaran tokoh ini cukup menggemparkan dan menjadi bahan perdebatan yang seru. Menurutnya, wujud itu hanya satu. Tidak ada perbedaan antara makhluk dengan Khalik, wujud makhluk adalah wujud Allah juga. Perbedaan makhluk dengan Khalik menurut Ibnu Arabi hanya karena ragam dari hakikat rupa yang Esa itu.
Jika Al-Hallaj masih dapat dimaafkan lantaran kata-katanya diucapkan dalam keadaan mabuk birahi kepada Tuhan, maka tidak bagi Ibnu Arabi karena ia berkata secara sadar dengan pemikiran filsafat. Ia bahkan nyaris dibunuh karena pemahaman tersebut. Namun di samping itu, masih ada pula pembela-pembela yang menganggap bahawa ajaran tersebut tidak menyimpang dari ajaran Islam.
Pada abad keenam sampai ketujuh di kalangan sufi mulai timbul kelompok-kelompok yang disebut tarekat. Dalam tarekat ini ditemukan wirid-wirid panjang yang digali dari Alquran dan Sunah Rasul. Pada masa ini, kehidupan agama Islam didominasi oleh tasawuf Para Syekh yang sangat dimuliakan melebihi Nabi Muhammad SAW.
Pada masa umat Islam terjebak dalam ritual-ritual yang eksklusif di dalam terkat tasawuf, muncul seirang pejuang sufi yang berusaha mengembalikan Islam ke dalam jalur yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Tokoh tersebut ialah Taqiussin Ibn Taimiyah. Ia mengoreksi pemikiran-pemikiran sebelumnya yang tidak sejalan dengan Islam.

2.    Tokoh Ibnu Arabi
Nama lengkap Ibnu ‘Arabi adalah Abu Bakar Ibnu Ali Muhyiddin al-Hatimi al-tha’I al Andalusia. Ia lahir di Murcia Spanyol bagian Utara pada tanggal 27 Ramadhan 560 H (17 Agustus 1165 M). Ibnu ‘Arabi berasal dari keturunan Arab. Ayahnya,  menteri  utama  Ibn’  Mardanisy,  jelas  seorang  tokoh  terkenal  dan berpengaruh di  bidang politik dan pendidikan. Keluarganya sangat religius, karena ketiga  pamannya  menjadi  pengikut  jalan  sufi  yang  masyhur,  dan  ia  sendiri  digelari Muhyi  al-Din  (penghidup  agama)  dan  al  Syaikh  al-Akbar  (doktor  maximus)  karena gagasan-gagasannya yang besar terutama dalam bidang mistik. Ajaran sentral Ibnu Arabi adalah tentang kesatuan wujud (Wahdatul wujud).
Ibnu ‘Arabi merupakan seorang tokoh sufi dan filsuf agama yang paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran Islam. Filsafat mistiknya, yang dikenal dengan istilah wahdatul wujud (kesatuan wujud) cukup mendapatkan banyak kritikan dan tuduhan tajam dari beberapa tokoh lain. Ajaran ini cukup menggemparkan dunia tasawuf, sehingga ia diberi gelar Syekh al Akbar. Dengan pengetahuannya yang amat kaya, baik dalam bidang keislaman maupun dalam bidang filsafat, ia berhasil membuat karya tulis yang di antaranya adalah Futuhat Al-Makkiyah dan Fushush Al-Hikam.


B.    Konsep-konsep
1.    Tajalli
Ajaran wahdatul wujud (kesatuan wujud) Ibnu ‘Arabi  menyatakan  bahwa  wujud  itu  sesungguhnya  hanya  satu,  yaitu  wujud  Allah  SWT,  Sedangkan  alam  ini  tidak  lain  hanyalah sebuah tajjali (penampakan) dari  wujud  yang  sejati itu. Menurutnya,  alam  tidak  memiliki  wujud  sejati atau  mutlak  seperti  Tuhan.  Hubungan  wujud  sejati (Tuhan) dengan alam digambarkan lewat wajah dengan gambar, yang muncul dari sejumlah  cermin  (Isa, 2000:205).
Alam  semesta  adalah  penampakan (tajalli)  Tuhan (Hasanah, 2015: 75). Dengan  demikian  segala  sesuatu  dan  segala yang ada di dalamnya adalah entifikasi-Nya. Segala sesuatu ada di  dalam  bentuk  Tuhan,  Tuhan  yang  sebelumnya  tersembunyi, kemudian  memutuskan  untuk  menyingkap Diri-Nya sendiri, maka diciptakanlah semua makhluk dalam titah-Nya.
Hubungan semua  ciptaan  ini  dengan  Tuhan  ibarat  hubungan  pantulan dengan  cermin  atau  antara  bayangan  dan  sumber  bayangan, yakni  alam  semesta  adalah  cerminan  bagi  Tuhan.  Dia  ingin memperkenalkan  Diri-Nya  lewat  alam  karena  Dia  adalah  harta simpanan  yang  terpendam  (kanz  mahfi) yang  tidak  bisa dikenali kecuali lewat alam
Menurut Ibnu Arabi, Allah  adalah  al-wujud,  Allah  adalah  kenyataan  yang hakiki.  Tiap-tiap  sesuatu  musnah,  dan  hanya  wajah-Nya  yang kekal,  abadi  selamanya (Zaprulkhan, 2016: 167). Satu-satunya  wujud  adalah  wujud Tuhan. Tidak  ada  wujud  selain  wujud-Nya,  artinya  yaitu  bahwa apapun  selain  Tuhan  tidak  mempunyai  wujud. Secara  logis berarti  kata  wujud  tidak  dapat  diberikan  kepada  segala  sesuatu selain  Tuhan.

2.    Imanensi dan transedensi (tasybih dan tanzih)
Untuk  menjelaskan  ontologis  Tuhan  dan  alam  semesta,  Ibnu  ‘Arabi  menggunakan  simbol  cermin. Simbol  ini pertama  untuk  menjelaskan  sebab  penciptaan  alam  yakni  bahwa  penciptaan  alam  ini adalah sarana untuk memperlihatkan diri-Nya. Dia ingin memperkenalkan dirinya lewat alam.  Dia  adalah  harta  simpanan  (kanz  nahfi)  yang  tidak  bisa  dikenali  kecuali  lewat alam (Hasanah, 2015: 89). Konsep ini dikenal dengan konsep tajjali, seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
Kedua untuk menjelaskan hubungan yang  satu  dengan  yang  banyak  dan  beragam  dalam  semesta. Tuhan  yang bercermin  adalah  satu  tetapi  gambar-Nya  banyak  dan  beragam.  Dan  apa  yang  tampak dalam  cermin  adalah  bayangan-Nya, bukan  Dia  yang sesungguhnya.
Penggambaran  tersebut  sejalan  dengan  penyatuan  dua  paradigma  tasybih dan tanzih.  Imanen  dan  transenden  yang  digunakan  Ibnu  ‘Arabi  dari  segi  tasybih  Tuhan sama  dengan  alam,  karena  alam  tidak  lain  adalah  perwujudan  dan  aktualisasi  sifat-sifatnya.  Dari  segi  tanzih  Tuhan  berbeda  dengan  alam,  karena  alam  terikat  ruang  dan waktu  sedang  Tuhan  adalah  absolut  dan  mutlak.  Secara  tegas  Ibnu  ‘Arabi  menyatakan “Huwa La Huwa” (Dia bukan Dia yang kita bayangkan) sedekat-dekat manusia menyatu dengan  Tuhan,  tetapi  tidak  akan  pernah  menyatu  dengan  Tuhan,  ia  hanya  menyatu dengan asma dan sifat-sifatnya, menyatu dengan bayangan-Nya bukan dengan zat-Nya (William,2001:41).

C.    Implikasi metodologis
Implikasi metodologis merupakan implikasi yang berkaitan dengan refleksi penulis mengenai metode atau cara yang akan digunakan dalam penelitian. Dalam hal ini, pengertian tersebut merujuk pada sebuah cara atau langkah yang digunakan untuk membedah suatu karya sastra yang akan diteliti. Langkah tersebut dilakukan secara sistematis berdasarkan teori yang digunakan. Dalam teori sufisme Ibnu Arabi, implikasi metodologis dalam menganalisis suatu karya adalah sebagai berikut.
1.    Mengidentifikasi aspek tajjali dalam karya sastra yang akan dianalisis sesuai dengan teori
2.    Mengidentifikasi aspek tasybih dan tanzih dalam karya sastra yang akan di analisis sesuai dengan teori
3.    Menguraikan dan memberi interpretasi tentang masing-masing konsep sebagai hasil simpulan






D.    Contoh analisis

Cerpen Wajah Karya Candra Malik: Kajian Sufisme Ibnu Arabi

Konsep-konsep Ibnu Arabi di atas dapat diaplikasikan dalam Cerpen Wajah karya Candra Malik. Cerpen ini mengisahkan tentang kedekatan antara makhluk dengan Tuhan yang digambarkan melalui sebuah dialog antara Yang Dilihat dengan Yang Melihat. Cerpen ini memperdebatkan antara wajah siapa yang sebenarnya wujud. Perdebatan antara Yang Dilihat dengan Yang Melihat benar-benar menjadi misteri. Dalam keadaan berjarak sekalipun, perdebatan itu tetap menjadi rahasia. Hanya sebuah cermin yang menjadi saksi di antara kedua-Nya.
Cerpen ini dapat dianalisis dengan menggunakan teori sufisme Ibnu Arabi, karena di dalamnya terdapat kisah-kisah yang secara tidak langsung mengandung konsep tajjali, tanzih dan tasybih. Konsep-konsep tersebut dapat dijabarkan dalam uraian data berikut.
a.    Tajjali
Tajjali merupakan penampakan Tuhan melalui kosmos atau alam semesta. Konsep ini dapat dijabarkan melalui hubungan antara pantulan dengan  cermin  atau  antara  bayangan  dan  sumber  bayangan.
Konsep tajjali Ibnu Arabi sudah dapat tergambar melalui pemilihan judul cerpen. Untuk pemilihan judul “wajah”, itu saja sudah mengarah ke konsep pemikiran Ibnu Arabi tentang hubungan  wujud  sejati (Tuhan) dan alam yang digambarkan lewat wajah dengan bayangan yang dipantulkan melalui sebuah cermin. Wajah yang di maksud dalam cerpen ini tidak lain adalah wajah Yang Dilihat dan wajah Yang Melihat. Tuhan sebagai wujud yang tunggal digambarkan melalui tokoh Yang Dilihat, sedangkan makhluk sebagai bentuk tajjali digambarkan melalui tokoh Yang Melihat. Hal ini dibuktikan dari data berikut:

Yang Melihat berucap, “Kau saksi Engkau sendiri.”
Yang Dilihat berkata, “ Dikaulah saksi-Ku.”
Yang Melihat berucap, “Aku tak lain adalah Kau. Aku saksi Diri-Ku sendiri.”
Yang Dilihat berkata, “Aku ada, Kau tiada. Aku wujud, Kau bentuk.”
Yang Melihat berucap, “Ada tidak butuh saksi. Ada ada karena Adanya sendiri.” (Malik, 2015:138).

 Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa Yang Dilihat merupakan tokoh yang digambarkan sebagai simbol wujud Tuhan. Data yang paling mendukung dalam hal ini adalah: Yang Dilihat berkata, “Aku ada, Kau tiada. Aku wujud, Kau bentuk.” (Malik, 2015:138). Yang dimaksud “Aku” dalam data tersebut adalah Tuhan, sedangkan yang dimaksud Kau adalah makhluk. Hal ini sudah sesuai dengan konsep tajjali Ibnu Arabi, yang menyatakan bahwa wujud  itu  sesungguhnya adalah milik Allah  SWT, sedangkan alam semesta ini hanyalah sebuah bentuk  dari  wujud  yang  sejati itu.
Selain data di atas, masih terdapat beberapa data lain yang membuktikan bahwa cerpen ini sesuai dengan konsep tajalli Ibnu Arabi. Untuk  menjelaskan  ontologis  Tuhan  dan  alam  semesta,  Ibnu  ‘Arabi menggunakan  simbol  cermin. Simbol  ini pertama  untuk  menjelaskan  sebab  penciptaan  alam  yakni  bahwa  penciptaan  alam  ini adalah sarana untuk memperlihatkan diri-Nya. Hal ini sesuai dengan cerpen Wajah karya Candra Malik yang juga menggunakan simbol cermin sebagai sarana untuk membuktikan wajah siapa yang sebenarnya nyata atau wujud.
Semuanya lenyap dalam karisma kemilau. Jatuh berkeping-keping menjadi cermin berserakan. Memantulkan wajah. Memantulkan cahaya. Memantulkan pesona.
Wajah siapa?
Yang Dilihat berkata, “Sudah Kufirmankan, itu wajah-Ku.”
Yang Melihat Berucap, “Bercerminlah. Lihat wajah siapa oti. Wajah-Ku, wajah-Ku!” (Malik, 2015:134).

Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa simbol yang digunakan dalam cerpen ini adalah cermin. Simbol cermin dalam data di atas dapat diinterpretasikan sebagai sarana untuk membuktikan wajah siapa yang sebenarnya nyata. Hal ini dapat dibuktikan dalam data: Yang Melihat Berucap, “Bercerminlah. Lihat wajah siapa oti. Wajah-Ku, wajah-Ku!” (Malik, 2015:134). Data tersebut sudah sesuai dengan konsep Ibnu Arabi yang menyatakan bahwa simbol cermin digunakan untuk menjelaskan sebab penciptaan alam, yakni sarana untuk memperlihatkan diri-Nya. Dalam cerpen ini, simbol cermin juga digunakan untuk memperlihatkan bahwa wajah yang sebenarnya nyata adalah wajah Yang Dilihat (Tuhan). Data yang yang dapat digunakan sebagai penguat interpretasi tersebut adalah: Yang Dilihat berkata, “Sudah Kufirmankan, itu wajah-Ku.” (Malik, 2015:134).

Data selanjutnya yang juga menggambarkan kesesuaian teori tajjali Ibnu Arabi dengan cerpen Wajah karya Candra Malik adalah percakapan antara Yang Dilihat dengan Yang Melihat tentang kebenaran bahwa tiada yang kekal selain wajah Yang Dilihat (Tuhan). Teori tajalli Ibnu Arabi menyatakan bahwa Allah  adalah  al-wujud,  Allah  adalah  kenyataan  yang hakiki.  Tiap-tiap  sesuatu  musnah,  dan  hanya  wajah-Nya  yang kekal,  abadi  selamanya (Zaprulkhan, 2016: 167). Hal tersebut sesuai dengan penggalan data berikut yang dikutip dari cerpen Wajah.

Yang Dilihat berkata, “Kebenaran bahkan tidak butuh bunyi dan suara.”
Yang Melihat berucap, “Aku juga diam atas peristiwa.”
Yang Dilihat berkata, “Tiada yang kekal selain wajah-Ku.”
Yang Melihat berucap, “Mahabenar itu. Tiada yang kekal selain wajah-Ku.”
Yang Dilihat berkata, “Wajah-Ku.”
Yang Melihat berucap, “Wajah-Ku.” (Malik, 2015:136)

Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa pernyataan mengenai konsep Ibnu Arabi sudah tampak dengan jelas. Yang Dilihat berkata, “Tiada yang kekal selain wajah-Ku.” (Malik, 2015:136), merupakan data yang membuktikan bahwa cerpen tersebut sesuai dengan konsep tajjali Ibnu Arabi. Menurut Ibnu Arabi, hanya Allah wujud yang kakiki, segala sesuatu akan musnah, dan hanya wajah Allah yang kekal abadi selamanya.

b.    Tasybih dan Tanzih
Untuk  menjelaskan  hubungan antara  Tuhan  dan  alam  semesta,  Ibnu  ‘Arabi menggunakan  simbol  cermin. Simbol  ini pertama  untuk  menjelaskan  sebab  penciptaan  alam  yakni  bahwa  penciptaan  alam  ini adalah sarana untuk memperlihatkan diri-Nya. Dia ingin memperkenalkan dirinya lewat alam.  Dia  adalah  harta  simpanan  (kanz  nahfi)  yang  tidak  bisa  dikenali  kecuali  lewat alam. Konsep ini dikenal dengan konsep tajjali, seperti yang telah diuraikan dalam data sebelumnya.
 Kedua, simbol cermin digunakan untuk menjelaskan hubungan yang  satu  dengan  yang  banyak  dan  beragam  dalam  semesta. Tuhan  yang bercermin  adalah  satu  tetapi  gambar-Nya  banyak  dan  beragam.  Dan  apa  yang  tampak dalam  cermin  adalah  bayangan-Nya, bukan  Dia  yang sesungguhnya. Data yang menggambarkan konsep tersebut adalah sebagai berikut:

Sungguh, kau tidak tahu.
Sungguh, Kau Mahatahu. Aku tak lain adalah Kau.
Aku Aku, kau kau.
Aku Aku, Engkau Engkau, Aku Engkau, Engkau Aku.
Langit bergemuruh (Malik, 2015:139).

Data di atas sejalan  dengan  penyatuan  dua  paradigma  tasybih dan tanzih yang  digunakan  Ibnu  ‘Arabi.  Dari  segi  tasybih  Tuhan sama  dengan  alam,  karena  alam  tidak  lain  adalah  perwujudan  dan  aktualisasi  sifat-sifatnya. Dalam data di atas, bukti yang mendukung bahwa Tuhan dan alam itu sama, karena alam merupakan perwujudan dan aktualisasi dari sifat Tuhan adalah sebagai berikut: “Sungguh, Kau Mahatahu. Aku tak lain adalah Kau (Malik, 2015:139).”
Dari  segi  tanzih  Tuhan  berbeda  dengan  alam,  karena  alam  terikat  ruang  dan waktu  sedang  Tuhan  adalah  absolut  dan  mutlak. Hal ini juga terdapat dalam cerpen tersebut. Secara  tegas  Ibnu  ‘Arabi  menyatakan “Huwa La Huwa” (Dia bukan Dia yang kita bayangkan) sedekat-dekat manusia menyatu dengan  Tuhan,  tetapi  tidak  akan  pernah  menyatu  dengan  Tuhan.  Ia  hanya  menyatu dengan asma dan sifat-sifatnya, menyatu dengan bayangan-Nya, bukan dengan zat-Nya. Data yang dapat membuktikan kesesuaian antara cerpen dengan konsep Ibnu Arabi tersebut adalah sebagai berikut:
Aku Aku, kau kau.
Aku Aku, Engkau Engkau, Aku Engkau, Engkau Aku (Malik, 2015:139).
Penggunaan huruf kapital pada kalimat pertama menunjukkan bahwa Tuhan dan makhluk itu berbeda, karena yang kapital hanya pada kata “Aku” sedangkan pada “kau” tidak. Selanjutnya untuk kalimat kedua dari data di atas menggambarkan bahwa Tuhan dan makhluk itu sama, karena antara kata “Aku” dan “Engkau” keduanya menggunakan huruf kapital pada awal kata. Hal ini sejalan dengan pemikiran manusia sejauh ini, bahwa konsep tentang penulisan Tuhan itu selalu menggunakan huruf kapital di awal kata.







E.    Daftar pustaka
Hasanah, Uswatun. 2015. Konsep Wahdat Al-Wujūd Ibn `Arabī Dan
Manunggaling Kawulo Lan Gusti  Ranggawarsita (Studi Komparatif). Skripsi tidak diterbitkan.

Isa, Ahmadi. 2000. Tokoh-Tokoh Sufi Tauladan Kehidupan Yang Soleh. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Malik, Candra. 2015. Mawar Hitam. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.

Sudardi, Bani.2003. Sastra Sufistik. Solo:PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

Syukur, Muhammad Amin. 1999. Menggugat Tasawuf:Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wiliam, C. Chittick. 2001. Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi Kreatifitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama. Surabaya: Risalah Gusti.

Zaprulkhan. 2016. Ilmu Taswuf Sebuah Kajian Tematik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar